Pemerintah
secara resmi mengumumkan keputusan menaikkan TDL sebesar 16 persen secara
bertahap pada tahun 2013. Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk
pelanggan rumah tangga golongan 450 volt ampere ke atas akan dinaikkan 10 persen. Kenaikan itu dikatakan untuk menutupi subsidi listrik yang
turun 20 triliun dibanding 2011. Besaran subsidi
listrik di APBN-P 2011 sebesar Rp 65,6 triliun turun
menjadi Rp 45 triliun pada APBN 2012. Asumsi perhitungan subsidi
didasarkan dengan nilai tukar dolar sebesar Rp 8.800, penjualan
listrik sebanyak 173 Twh, susut jaringan 8,5 persen dan
tercapainya bauran energi.
Menurut Kementerian ESDM, kenaikan TDL sebaiknya dilaksanakan bertahap, misalnya 1 persen per bulan sampai mencapai tarif ke-ekonomian seperti di Inggris. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Kementerian ESDM telah meminta konsorsium perguruan tinggi yaitu UI, UGM dan Unpad untuk melakukan kajian itu. Dari hasil kajian konsorsium perguruan tinggi tersebut, kenaikan TDL 10 persen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap daya saing industri. Hal itu berarti, usaha mikro kecil dan menengah yang meliputi 90 persen dari jumlah industri tidak terpengaruh dengan kenaikan TDL menurut mereka.
Ia pun menyatakan bahwa pemerintah menyiapkan beberapa opsi kenaikan TDL. Pertama, opsi kenaikan TDL 10 persen bagi semua golongan pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), kecuali golongan pelanggan 450 VA. Opsi kedua, tarif golongan pelanggan 450 VA dan 900 VA tidak naik sampai batas pemakaian listrik 60 kWh per bulan. Setelah pemakaian listrik 60 kWh, maka akan terkena kenaikan tarif listrik dan sudah diajukan pada pemerintah.
Dampak Kenaikan Listrik
Menurut Kementerian ESDM, kenaikan TDL sebaiknya dilaksanakan bertahap, misalnya 1 persen per bulan sampai mencapai tarif ke-ekonomian seperti di Inggris. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Kementerian ESDM telah meminta konsorsium perguruan tinggi yaitu UI, UGM dan Unpad untuk melakukan kajian itu. Dari hasil kajian konsorsium perguruan tinggi tersebut, kenaikan TDL 10 persen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap daya saing industri. Hal itu berarti, usaha mikro kecil dan menengah yang meliputi 90 persen dari jumlah industri tidak terpengaruh dengan kenaikan TDL menurut mereka.
Ia pun menyatakan bahwa pemerintah menyiapkan beberapa opsi kenaikan TDL. Pertama, opsi kenaikan TDL 10 persen bagi semua golongan pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), kecuali golongan pelanggan 450 VA. Opsi kedua, tarif golongan pelanggan 450 VA dan 900 VA tidak naik sampai batas pemakaian listrik 60 kWh per bulan. Setelah pemakaian listrik 60 kWh, maka akan terkena kenaikan tarif listrik dan sudah diajukan pada pemerintah.
Dampak Kenaikan Listrik
Kebijakan
pemerintah untuk tidak menaikkan tarif dasar 450-900 VA sekilas memang populis
karena dianggap masih berpihak ke rakyat kecil. Pada tahun 2008 konsumen
listrik golongan 450-900 VA hanya sebesar 27% dari total penjualan listrik PLN.
Namun demikian secara ekonomis kenaikan biaya produksi yang ditanggung oleh
golongan bisnis dan industri tentu akan dilimpahkan ke biaya produksi.
Akibatnya inflasi manufactured goods akan naik sehingga menggerus
daya beli konsumen termasuk pengguna 450-900 VA. Selain itu biaya produksi yang
makin mahal membuat produk dalam negeri makin tidak kompetitif dibandingkan
produk-produk impor yang kian marak di pasaran. Akibatnya permintaan terhadap
produk dalam negeri akan menurun sehingga dapat berdampak pada pengurangan
penyerapan tenaga kerja.
Alasan lain pemerintah adalah harga jual listrik PLN
kepada konsumen lebih rendah dibandingkan negara-negara di kawasan ASEAN.
Memang kenyataannya harga listrik Indonesia sedikit lebih tinggi dibandingkan
Singapura, Malaysia dan Thailand. Meskipun demikian, harga itu masih lebih
murah dibandingkan dengan negara-negara seperti Vietnam, Filipina dan Brunai
Darussalam. Namun jika harga tersebut diukur berdasarkan daya beli penduduk
melalui pendekatan PDB perkapita, maka beban yang ditanggung konsumen di
Indonesia masih lebih besar dibandingkan dengan konsumen di negara-negara yang
listriknya murah tersebut. Sebagai contoh harga listrik per kwh di Indonesia
dan Malaysia untuk rumah tangga masing-masing sebesar 8,2 dan 9,9 sen dolar.
Namun demikian PDB perkapita Malaysia yang mencapai US$16,200 jauh di atas
Indonesia yang hanya US$4,700.
Di
sisi lain komposisi rumah tangga yang memiliki jaringan 450-900 VA tidak
dapat mencerminkan bahwa mereka adalah kelompok masyarakat miskin atau hampir
miskin sementara yang golongan di atasnya adalah kelompok kaya. Indikator
kemiskinan tidak dapat diukur dari jenis sambungan listrik yang dipunyai.
Banyak penduduk golongan menengah ke bawah terpaksa menikmati sambungan listrik
di atas 450-900 VA seperti para pengontrak rumah dan para pensiunan. Sementara
tidak sedikit golongan mapan merasa cukup dengan sambungan 450-900 VA.
Persoalan
listrik di negeri ini memang masih memprihatinkan. Rasio elektrifikasi
nasional, atau sambungan listrik ke rumah tangga secara nasional masih 65%.
Bahkan di NTB dan Papua rasionya masih 32% sementara di NTT baru 24% (PLN,
2009). Parahnya lagi dari 2005-2008 pertumbuhan elektrifikasi nasional hanya 4%
pertahun. Jika tidak ada terobosan maka dibutuhkan waktu sekitar delapan tahun
lagi agar seluruh rumah tangga yang ada sekarang mendapatkan aliran listrik.
Inefisiensi
PLN
Dari
sisi biaya produksi PLN juga masih belum efisien. Berdasarkan Laporan Keuangan
PLN 2009, biaya terbesar PLN adalah biaya pembelian Bahan Bakar (56%),
pembelian listrik dari pihak swasta (19%) dan biaya penyusutan (9%). Dari
total pembelian bahan bakar senilia Rp 76 triliun, 63 % digunakan untuk membeli
BBM dan sisanya untuk batu bara (16%), gas (10%) dan panas bumi (2%).
a. Biaya Energi
Tidak
efisiennya biaya energi memang diakui PLN. Ini karena dari total biaya
pembelian bahan bakar sebesar 63%-nya digunakan untuk membeli BBM dengan harga
internasional (MOPS) ke Pertamina dan sejumlah produsen minyak swasta. Padahal
penggunaan gas dan batu bara jauh lebih murah dari BBM.
Sayangnya
proses tersebut terbentur oleh kebijakan SDA yang carut marut. Sejak awal tahun 1970-an hingga 2007, kontrak jual beli gas
yang dialokasikan untuk domestik mencapai 20,12 TCF (48%) sementara yang diekspor
sebesar 21,55 TCF (52%) (Buletin BP Migas, No. 46, Juni 2008).
Belakangan 70 % ladang gas Donggi-Senoro diputuskan untuk diekspor dan sisanya
untuk domestik. Walhasil meski merupakan penghasil gas terbesar ke-10 (BP
Statistics, 2009), industri dalam negeri seperti industri pupuk termasuk
PLN ’megap-megap’ karena kekurangan pasokan.
Selain
itu pasokan batu bara juga dikuasai oleh swasta sehingga sebagian besar batu
bara Indonesia diekspor ke luar negeri. Sejak 2000-2008, produksi batu bara
Indonesia diekspor ke luar negeri rata-rata 73 % per tahun. Padahal kebutuhan
batu bara domestik masih sangat tinggi termasuk kebutuhan energi PLN. Kalaupun
tersedia stock maka PLN harus membeli dengan harga internasional. Bahkan
yang sangat ironis, pada tahun 2009 BUMN tersebut harus mengimpor batu bara
dari Australia akibat tidak mendapat pasokan yang memadai dari dalam
negeri.
b. Pembelian Listrik Swasta
Sumber
infisiensi lainnya adalah kontrak pembelian listrik oleh PLN dari perusahaan
listrik swasta (IPP). Karena keterbatasan dalam memproduksi listrik maka PLN
harus membeli listrik dari perusahaan swasta (Independent Power Producers).
Ini tidak efisien karena harga tersebut telah memperhitungkan margin
keuntungan dari IPP tersebut. Ini akan berbeda jika pemerintah mampu untuk
memproduksi listrik sendiri. Hingga 2009 21% dari total listrik yang dijual
PLN, merupakan hasil pembelian dari swasta. Selain itu sejarah kontrak tersebut
juga sarat dengan KKN. Penjualan listrik PT Paiton I kepada PLN (1994-2007)
misalnya, berdasarkan negosiasi Pemerintah, senilai 8.5 sen per kwh. Padahal
PLN menjualnya ke konsumen dengan harga 2,5-3,2 sen per kwh. Proyek Paiton I
sendiri merupakan proyek yang melibatkan kroni rezim Orde baru dan pihak asing
yaitu Mission Energy (32,5 persen), Mitsui (32,5 persen), General Electric (20
persen), dan Batu Hitam Perkasa/Hashim Djojohadikusumo (15 persen) dan didanai
oleh US Exim Bank, World Bank dan ADB. Menurut laporan BPKP nilai mark-up
proyek tersebut mencapai 799 juta dollar (sekitar Rp 7 triliun). Meski harganya
telah direnegosiasi namun hingga saat ini PLN tetap harus membayar tunggakan
utang dari perusahaan tersebut yang kini tersisa Rp6.5 triliun.
c. Susut Jaringan
Susut
jaringan (losses) listrik juga menjadi salah satu pengeluaran terbesar
PLN baik akibat teknis maupun non teknis seperti pencurian dan kongkalikong
antara petugas PLN dengan konsumen khususnya industri yang berskala besar.
Susut jaringan teknis terjadi karena sejumlah gardu kabel dan peralatan lainnya
yang dimiliki PLN adalah peralatan tua sehingga menyebabkan pemborosan. Dari
tahun 2004-2008 rata-rata susut jaringan sebesar 11% dari total produksi. Pada
tahun 2009, nilainya mencapai Rp11.8 triliun.
Selama
subsidi pemerintah ini hanya untuk meng-cover selisih biaya pokok
penyediaan (BPP) listrik PLN yang mencapai Rp1.200 per kwh dengan harga jual
kepada konsumen golongan tertentu sebesar Rp 650 per kwh. Besarnya BPP tersebut
sangat dipengaruhi oleh biaya pembelian bahan bakar, pembelian listrik
swasta dan susut jaringan. Semestinya dengan membenahi ketiga elemen tersebut
BPP dapat ditekan sehingg gap antara harga produksi dengan harga jual
dapat dikurangi.
Di
sisi lain, anggaran yang dikucurkan pemerintah untuk membangun infrastruktur
listrik berbiaya murah sangat terbatas sehingga proyek pembangunan pembangkit
listrik banyak mengandalkan utang luar negeri seperti dari Jepang, China dan
Bank Dunia. Proyek tersebut tentu tidak gratis sebab disamping berbunga, jasa
konsultan dan bahan baku biasanya berasal dari negara donor.
Upaya Liberalisasi Energi
Sesunggunya
salah satu motif dari penaikan tarif listrik– sebagaimana halnya subsibdi BBM
adalah upaya liberalisasi pemerintah untuk meliberalisasi sektor energi. Dalam
Dokumen Blue Print Pengelolaan Energi Tahun 2010-2025
disebutkan bahwa salah satu tantangan pengembangan energi nasional adalah harga
energi belum mencapai nilai keekonomiannya. Oleh karena itu, salah satu misi
dari Kementerian ESDM adalah mendorong keekonomian harga energi dan mineral.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh sejumlah lembaga asing yang menjadi rujukan
kebijakan ekonomi pemerintah seperti IMF, Bank Dunia, USAID termasuk OECD dalam
berbagai dokumennya
Disisi
lain, meskipun PLN merupakan institusi yang bersifat monopolistik dalam
penyediaan listrik namun BUMN tersebut belum mampu memproduksi sendiri seluruh
kebutuhan publik sehingga masih bergantung pada pihak swasta yang diistilahkan
dengan Independent Power Producer (IPP). Saat ini berdasarkan UU
Kelistrikan dan UU Investasi, pemerintah terus mendorong pihak swasta
berinvestasi dalam sektor hulu kelistrikan. Hasilnya kemudian dijual kepada PLN
berdasarkan harga keekonomian. Sebab orientasi mereka adalah murni kepentingan
bisnis yang mengejar laba. Ini pula yang menjadi salah satu alasan mengapa
pemerintah berupaya untuk mencabut subsidi. Tujuannya seperti dalam UU Nomor
30 tahun 2009 tentang Kelistrikan, pihak swasta termasuk asing telah
diberikan ruang untuk turut menyediakan listrik. Selain itu upaya swastanisasi
listrik melalui mekanisme unbundling, yakni memecah monopoli PLN dalam
pengelolaan listrik dari hulu hingga hilir dengan melibatkan swasta juga terus
diupayakan oleh sejumlah pihak. Dengan demikian PLN bukan lagi pemain tunggal
dalam menyediakan listrik untuk publik.
Berdasarkan hal di atas, jelas bahwa upaya pemerintah
untuk mengurangi subsidi dengan menaikkan harga jual jelas merupakan tindakan
yang dzalim sebab kesalahan pemerintah ditimpakan kepada rakyatnya. Pasalnya
sebagian besar penyebab membengkaknya subsidi listrik akibat kesahalan
pemerintah sendiri baik akibat pengelolan energi yang berpihak kepada
swasta/asing dan inefisiensi ditubuh PLN sendiri. Lebih dari itu, upaya
pencabutan subsidi listrik merupakan upaya sistematis pemerintah untuk
memuluskan langkah liberalisasi di sektor kelistrikan. Dengan demikian semakin
banyak pihak swasta yang dapat terlibat dalam bisnis kelistrikan dan peran
pemerintah menjadi lebih minimal.
Pengelolaan Berbasis Syariah
Persoalan
kelistrikan nasional saat ini merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi
kapitalisme. Padahal dalam pandangan Islam sistem tersebut bertentangan dengan
aqidah Islam karena sistem tersebut berlandaskan pada sekularisme dimana urusan
kenegaraan termasuk bidang ekonomi dipisahkan dari agama. Berbeda dengan Islam
yang mengharuskan seluruh aspek kenegaraan wajib diatur berdasarkan syariat
Islam.
Islam
telah menegaskan bahwa listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam
kategori ’api’ yang merupakan barang publik. Termasuk dalam kategori tersebut
adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik,
gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya. Rasulullah saw bersabda:
”Manusia berserikat pada tiga hal: air, api dan padang gembalaan.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Ditambah
lagi, sebagian besar sumber energi dalam memproduksi listrik baik yang dikelola
oleh PLN maupun swasta merupakan barang-barang tambang yang juga merupakan
barang publik seperti minyak bumi, gas dan batu bara.
Selain
itu pengelolaan barang publik hanya diwakilkan kepada khalifah untuk dikelola
demi kemaslahatan rakyat. Selain itu barang tersebut tidak boleh dimiliki dan
dikuasai oleh swasta baik domestik ataupun asing. Adapaun mekanisme
distribusinya sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad dan pendapat khalifah.
Dengan demikian, barang publik tersebut dapat digratiskan seperti air dan listrik yang didistribusikan sesuai dengan
kebutuhan rakyat tanpa ada yang diistimewakan atau dikecualikan. Barang publik
juga dapat dijual dengan harga pasar seperti minyak bumi dan logam. Meski
demikian harga penjualannya dikembalikan kepada rakyat tanpa ada yang
dikecualikan. Di Baitul Mal, dana tersebut disimpan dalam pos harta milik umum
dimana khalifah sama sekali tidak diperkenankan menggunakannya untuk kegiatan
negara. (al-Maliky: 41: 1965)
Berdasarkan
hal di atas, pengelolaan kelistrikan nasional saat ini jelas sangat
bertentangan dengan syara’ antara lain: kebijakan energi yang memberikan
peluang kepada swasta untuk mengelola dan menguasai sumber energi seperti
minyak bumi, gas dan batu bara; pemberian kewenangan kepada swasta untuk
memproduksi listrik dengan sumber energi yang berasal dari barang publik yang
kemudian menjualnya kepada PLN dengan harga ekonomis; pengelolaan listrik dikelola
oleh badan perseroan yang motif utamanya adalah mencari keuntungan.
Konsekuensinya, pelayanan hanya diberikan kepada mereka yang mampu untuk
membayar; biaya yang ditetapkan PLN untuk mengkonsumsi listrik baik biaya
pemasangan maupun pemakaian per kwh pada faktanya membuat sebagian rakyat tidak
mampu untuk mendapatkan aliran listrik dan sebagian lagi kesulitan untuk
membayarnya; profit penjualan listrik yang dikelola oleh PLN saat ini selain
digunakan sebagai dana operasional perusahaan, juga disetorkan ke negara
dan dicampur dengan sumber pendapatan lain untuk digunakan pada berbagai urusan
kenegaraan seperti membayar hutang dan membayar gaji pegawai; proyek
pengembangan listrik yang dilakukan oleh pemerintah banyak bergantung
pada utang luar negeri.
Untuk itu, Negara Khilafah sejak pertama kali berdiri segera
melakukan pengembangan in-frastruktur energi yang diperlu-kan untuk menjamin
kebutuhan-nya dan memastikan agar energi tersebut tidak keluar dari negara dan
jatuh ke tangan negara-negara penjajah. Selain itu, pengembangan infrastruktur ini kenyataannya
akan menciptakan berjuta-juta lapangan pekerjaan yang akan mengangkat
berjuta-juta orang keluar dari kemiskinan di dunia Muslim. Pada gilirannya
pe-ngembangan energi akan mem-berikan efek luar biasa dengan merangsang ekonomi
yang lebih luas melalui pengembangan industri berat, kompleks-kom-pleks
manufaktur, industri-indus-tri militer, industri-industri pe-nyulingan dan
pabrik-pabrik. Dan bagi pengembangan listrik, tentu hal tersebut
merupakan hal yang tidak sulit bagi khilafah. Karena semua sumber daya energi
yang dibutuhkan dalam pembuatan listrik akan dikelola oleh daulah.
Dengan
menerapkan konsep Islam sebenarnya harga listrik di Indonesia tidak perlu
dinaikkan bahwa sangat mungkin untuk digratiskan secara proporsional kepada
seluruh rakyat. Meski demikian hal tersebut tidak mungkin terlaksana selama
sistem ekonomi negara ini menganut sistem ekonomi kapitalisme. Oleh karena itu
penerapan syariah Islam secara menyeluruh melalui penegakan sistem Khilafah
menjadi sebuah keharusan sehingga sistem Islam dapat ditegakkan secara menyeluruh termasuk dalam pengelolaan
listrik. Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh : Ayu Maylani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar