Jumat, 22 Maret 2013

KEBIJAKAN KHILAFAH DALAM MENGATUR MASALAH KELISTRIKAN


Pemerintah secara resmi mengumumkan keputusan menaikkan TDL sebesar 16 persen secara bertahap pada tahun 2013. Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk pelanggan rumah tangga golongan 450 volt ampere ke atas akan dinaikkan 10 persen. Kenaikan itu dikatakan untuk menutupi subsidi listrik yang turun 20 triliun dibanding 2011. Besaran subsidi listrik di APBN-P 2011 sebesar Rp 65,6 triliun turun menjadi Rp 45 triliun pada APBN 2012. Asumsi perhitungan subsidi didasarkan dengan nilai tukar dolar sebesar Rp 8.800, penjualan listrik sebanyak 173 Twh, susut jaringan 8,5 persen dan tercapainya bauran energi.

Menurut Kementerian ESDM, kenaikan TDL sebaiknya dilaksanakan bertahap, misalnya 1 persen per bulan sampai mencapai tarif ke-ekonomian seperti di Inggris. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Kementerian ESDM telah meminta konsorsium perguruan tinggi yaitu UI, UGM dan Unpad untuk melakukan kajian itu. Dari hasil kajian konsorsium perguruan tinggi tersebut, kenaikan TDL 10 persen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap daya saing industri. Hal itu berarti, usaha mikro kecil dan menengah yang meliputi 90 persen dari jumlah industri tidak terpengaruh dengan kenaikan TDL
menurut mereka.

Ia pun menyatakan bahwa pemerintah menyiapkan beberapa opsi kenaikan TDL. Pertama, opsi kenaikan TDL 10 persen bagi semua golongan pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), kecuali golongan pelanggan 450 VA. Opsi kedua, tarif golongan pelanggan 450 VA dan 900 VA tidak naik sampai batas pemakaian listrik 60 kWh per bulan. Setelah pemakaian listrik 60 kWh, maka akan terkena kenaikan tarif listrik dan sudah diajukan pada pemerintah.

Dampak Kenaikan Listrik
Kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif dasar 450-900 VA sekilas memang populis karena dianggap masih berpihak ke rakyat kecil. Pada tahun 2008 konsumen listrik golongan 450-900 VA hanya sebesar 27% dari total penjualan listrik PLN. Namun demikian secara ekonomis kenaikan biaya produksi yang ditanggung oleh golongan bisnis dan industri tentu akan dilimpahkan ke biaya produksi. Akibatnya inflasi manufactured goods  akan naik sehingga menggerus daya beli konsumen termasuk pengguna 450-900 VA. Selain itu biaya produksi yang makin mahal membuat produk dalam negeri makin tidak kompetitif dibandingkan produk-produk impor yang kian marak di pasaran. Akibatnya permintaan terhadap produk dalam negeri akan menurun sehingga dapat berdampak pada pengurangan penyerapan tenaga kerja.
Alasan lain pemerintah adalah harga jual listrik PLN kepada konsumen lebih rendah dibandingkan negara-negara di kawasan ASEAN. Memang kenyataannya harga listrik Indonesia sedikit lebih tinggi dibandingkan Singapura, Malaysia dan Thailand. Meskipun demikian, harga itu masih lebih murah dibandingkan dengan negara-negara seperti Vietnam, Filipina dan Brunai Darussalam. Namun jika harga tersebut diukur berdasarkan daya beli penduduk melalui pendekatan PDB perkapita, maka beban yang ditanggung konsumen di Indonesia masih lebih besar dibandingkan dengan konsumen di negara-negara yang listriknya murah tersebut. Sebagai contoh harga listrik per kwh di Indonesia dan Malaysia untuk rumah tangga masing-masing sebesar 8,2 dan 9,9 sen dolar. Namun demikian PDB perkapita Malaysia yang mencapai US$16,200 jauh di atas Indonesia yang hanya US$4,700.
Di sisi lain komposisi rumah tangga yang memiliki jaringan 450-900 VA  tidak dapat mencerminkan bahwa mereka adalah kelompok masyarakat miskin atau hampir miskin sementara yang golongan di atasnya adalah kelompok kaya. Indikator kemiskinan tidak dapat diukur dari  jenis sambungan listrik yang dipunyai. Banyak penduduk golongan menengah ke bawah terpaksa menikmati sambungan listrik di atas 450-900 VA seperti para pengontrak rumah dan para pensiunan. Sementara tidak sedikit golongan mapan merasa cukup dengan sambungan 450-900 VA.
Persoalan listrik di negeri ini memang masih memprihatinkan. Rasio elektrifikasi nasional, atau sambungan listrik ke rumah tangga secara nasional masih 65%. Bahkan di NTB dan Papua rasionya masih 32% sementara di NTT baru 24% (PLN, 2009). Parahnya lagi dari 2005-2008 pertumbuhan elektrifikasi nasional hanya 4% pertahun. Jika tidak ada terobosan maka dibutuhkan waktu sekitar delapan tahun lagi agar seluruh rumah tangga yang ada sekarang mendapatkan aliran listrik.
Inefisiensi PLN
Dari sisi biaya produksi PLN juga masih belum efisien. Berdasarkan Laporan Keuangan PLN 2009, biaya terbesar PLN adalah biaya pembelian Bahan Bakar (56%), pembelian listrik dari pihak swasta (19%) dan biaya penyusutan (9%).  Dari total pembelian bahan bakar senilia Rp 76 triliun, 63 % digunakan untuk membeli BBM dan sisanya untuk batu bara (16%), gas (10%) dan panas bumi (2%).
a. Biaya Energi
Tidak efisiennya biaya energi memang diakui PLN. Ini karena dari total biaya pembelian bahan bakar sebesar 63%-nya digunakan untuk membeli BBM dengan harga internasional (MOPS) ke Pertamina dan sejumlah produsen minyak swasta. Padahal penggunaan gas dan batu bara jauh lebih murah dari BBM.
Sayangnya proses tersebut terbentur oleh kebijakan SDA yang carut marut. Sejak awal tahun 1970-an hingga 2007, kontrak jual beli gas yang dialokasikan untuk domestik mencapai 20,12 TCF (48%) sementara yang diekspor sebesar 21,55 TCF (52%) (Buletin BP Migas, No. 46, Juni 2008). Belakangan 70 % ladang gas Donggi-Senoro diputuskan untuk diekspor dan sisanya untuk domestik. Walhasil meski merupakan penghasil gas terbesar ke-10 (BP Statistics, 2009), industri dalam negeri seperti industri pupuk termasuk PLN ’megap-megap’ karena kekurangan pasokan.
Selain itu pasokan batu bara juga dikuasai oleh swasta sehingga sebagian besar batu bara Indonesia diekspor ke luar negeri. Sejak 2000-2008, produksi batu bara Indonesia diekspor ke luar negeri rata-rata 73 % per tahun. Padahal kebutuhan batu bara domestik masih sangat tinggi termasuk kebutuhan energi PLN. Kalaupun tersedia stock maka PLN harus membeli dengan harga internasional. Bahkan yang sangat ironis, pada tahun 2009 BUMN tersebut harus mengimpor batu bara dari Australia akibat tidak mendapat pasokan yang memadai dari dalam negeri.
b. Pembelian Listrik Swasta
Sumber infisiensi lainnya adalah kontrak pembelian listrik oleh PLN dari perusahaan listrik swasta (IPP). Karena keterbatasan dalam memproduksi listrik maka PLN harus membeli listrik dari perusahaan swasta (Independent Power Producers). Ini tidak efisien karena harga tersebut telah memperhitungkan margin keuntungan dari IPP tersebut. Ini akan berbeda jika pemerintah mampu untuk memproduksi listrik sendiri. Hingga 2009 21% dari total listrik yang dijual PLN, merupakan hasil pembelian dari swasta. Selain itu sejarah kontrak tersebut juga sarat dengan KKN. Penjualan listrik PT Paiton I kepada PLN (1994-2007) misalnya, berdasarkan negosiasi Pemerintah, senilai 8.5 sen per kwh. Padahal PLN menjualnya ke konsumen dengan harga 2,5-3,2 sen per kwh. Proyek Paiton I sendiri merupakan proyek yang melibatkan kroni rezim Orde baru dan pihak asing yaitu Mission Energy (32,5 persen), Mitsui (32,5 persen), General Electric (20 persen), dan Batu Hitam Perkasa/Hashim Djojohadikusumo (15 persen) dan didanai oleh US Exim Bank, World Bank dan ADB.  Menurut laporan BPKP nilai mark-up proyek tersebut mencapai 799 juta dollar (sekitar Rp 7 triliun). Meski harganya telah direnegosiasi namun hingga saat ini PLN tetap harus membayar tunggakan utang dari perusahaan tersebut yang kini tersisa Rp6.5 triliun.
c. Susut Jaringan
Susut jaringan (losses) listrik juga menjadi salah satu pengeluaran terbesar PLN baik akibat teknis maupun non teknis seperti pencurian dan kongkalikong antara petugas PLN dengan konsumen khususnya industri yang berskala besar. Susut jaringan teknis terjadi karena sejumlah gardu kabel dan peralatan lainnya yang dimiliki PLN adalah peralatan tua sehingga menyebabkan pemborosan. Dari tahun 2004-2008 rata-rata susut jaringan sebesar 11% dari total produksi. Pada tahun 2009, nilainya mencapai Rp11.8  triliun.
Selama subsidi pemerintah ini hanya untuk meng-cover selisih biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN yang mencapai Rp1.200 per kwh dengan harga jual kepada konsumen golongan tertentu sebesar Rp 650 per kwh. Besarnya BPP tersebut sangat dipengaruhi oleh  biaya pembelian bahan bakar, pembelian listrik swasta dan susut jaringan. Semestinya dengan membenahi ketiga elemen tersebut BPP dapat ditekan sehingg gap antara harga produksi dengan harga jual dapat dikurangi.
Di sisi lain, anggaran yang dikucurkan pemerintah untuk membangun infrastruktur listrik berbiaya murah sangat terbatas sehingga proyek pembangunan pembangkit listrik banyak mengandalkan utang luar negeri seperti dari Jepang, China dan Bank Dunia. Proyek tersebut tentu tidak gratis sebab disamping berbunga, jasa konsultan dan bahan baku biasanya berasal dari negara donor.
Upaya Liberalisasi Energi
Sesunggunya salah satu motif dari penaikan tarif listrik– sebagaimana halnya subsibdi BBM adalah upaya liberalisasi pemerintah untuk meliberalisasi sektor energi. Dalam Dokumen Blue Print Pengelolaan Energi Tahun 2010-2025 disebutkan bahwa salah satu tantangan pengembangan energi nasional adalah harga energi belum mencapai nilai keekonomiannya. Oleh karena itu, salah satu misi dari Kementerian ESDM adalah mendorong keekonomian harga energi dan mineral. Hal yang sama juga dinyatakan oleh sejumlah lembaga asing yang menjadi rujukan kebijakan ekonomi pemerintah seperti IMF, Bank Dunia, USAID termasuk OECD dalam berbagai dokumennya
Disisi lain, meskipun PLN merupakan institusi yang bersifat monopolistik dalam penyediaan listrik namun BUMN tersebut belum mampu memproduksi sendiri seluruh kebutuhan publik sehingga masih bergantung pada pihak swasta yang diistilahkan dengan Independent Power Producer (IPP). Saat ini berdasarkan UU Kelistrikan dan UU Investasi, pemerintah terus mendorong pihak swasta berinvestasi dalam sektor hulu kelistrikan. Hasilnya kemudian dijual kepada PLN berdasarkan harga keekonomian. Sebab orientasi mereka adalah murni kepentingan bisnis yang mengejar laba. Ini pula yang menjadi salah satu alasan mengapa pemerintah berupaya untuk mencabut subsidi. Tujuannya seperti dalam UU Nomor 30 tahun 2009 tentang Kelistrikan,  pihak swasta termasuk asing telah diberikan ruang untuk turut menyediakan listrik. Selain itu upaya swastanisasi listrik melalui mekanisme unbundling, yakni memecah monopoli PLN dalam pengelolaan listrik dari hulu hingga hilir dengan melibatkan swasta juga terus diupayakan oleh sejumlah pihak. Dengan demikian PLN bukan lagi pemain tunggal dalam menyediakan listrik untuk publik.
Berdasarkan hal di atas, jelas bahwa upaya pemerintah untuk mengurangi subsidi dengan menaikkan harga jual jelas merupakan tindakan yang dzalim sebab kesalahan pemerintah ditimpakan kepada rakyatnya. Pasalnya sebagian besar penyebab membengkaknya subsidi listrik akibat kesahalan pemerintah sendiri baik akibat pengelolan energi yang berpihak kepada swasta/asing dan inefisiensi ditubuh PLN sendiri. Lebih dari itu, upaya pencabutan subsidi listrik merupakan upaya sistematis pemerintah untuk memuluskan langkah liberalisasi di sektor kelistrikan. Dengan demikian semakin banyak pihak swasta yang dapat terlibat dalam bisnis kelistrikan dan peran pemerintah menjadi lebih minimal.
Pengelolaan Berbasis Syariah
Persoalan kelistrikan nasional saat ini merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Padahal dalam pandangan Islam sistem tersebut bertentangan dengan aqidah Islam karena sistem tersebut berlandaskan pada sekularisme dimana urusan kenegaraan termasuk bidang ekonomi dipisahkan dari agama. Berbeda dengan Islam yang mengharuskan seluruh aspek kenegaraan wajib diatur berdasarkan syariat Islam.
Islam telah menegaskan bahwa listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori ’api’ yang merupakan barang publik. Termasuk dalam kategori tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya. Rasulullah saw bersabda:
”Manusia berserikat pada tiga hal: air, api dan padang gembalaan.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Ditambah lagi, sebagian besar sumber energi dalam memproduksi listrik baik yang dikelola oleh PLN maupun swasta merupakan barang-barang tambang yang juga merupakan barang publik seperti minyak bumi, gas dan batu bara.
Selain itu pengelolaan barang publik hanya diwakilkan kepada khalifah untuk dikelola demi kemaslahatan rakyat. Selain itu barang tersebut tidak boleh dimiliki dan dikuasai oleh swasta baik domestik ataupun asing. Adapaun mekanisme distribusinya sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad dan pendapat khalifah. Dengan demikian, barang publik tersebut dapat digratiskan seperti air dan listrik yang didistribusikan sesuai dengan kebutuhan rakyat tanpa ada yang diistimewakan atau dikecualikan. Barang publik juga dapat dijual dengan harga pasar seperti minyak bumi dan logam. Meski demikian harga penjualannya dikembalikan kepada rakyat tanpa ada yang dikecualikan. Di Baitul Mal, dana tersebut disimpan dalam pos harta milik umum dimana khalifah sama sekali tidak diperkenankan menggunakannya untuk kegiatan negara. (al-Maliky: 41: 1965)
Berdasarkan hal di atas, pengelolaan kelistrikan nasional saat ini jelas sangat bertentangan dengan syara’ antara lain: kebijakan energi yang memberikan peluang kepada swasta untuk mengelola dan menguasai sumber energi seperti minyak bumi, gas dan batu bara; pemberian kewenangan kepada swasta untuk memproduksi listrik dengan sumber energi yang berasal dari barang publik yang kemudian menjualnya kepada PLN dengan harga ekonomis; pengelolaan listrik dikelola oleh badan perseroan yang motif utamanya adalah mencari keuntungan. Konsekuensinya, pelayanan hanya diberikan kepada mereka yang mampu untuk membayar; biaya yang ditetapkan PLN untuk mengkonsumsi listrik baik biaya pemasangan maupun pemakaian per kwh pada faktanya membuat sebagian rakyat tidak mampu untuk mendapatkan aliran listrik dan sebagian lagi kesulitan untuk membayarnya; profit penjualan listrik yang dikelola oleh PLN saat ini selain digunakan  sebagai dana operasional perusahaan, juga disetorkan ke negara dan dicampur dengan sumber pendapatan lain untuk digunakan pada berbagai urusan kenegaraan seperti membayar hutang dan membayar gaji pegawai; proyek pengembangan listrik  yang dilakukan oleh pemerintah banyak bergantung pada utang luar negeri.
Untuk itu, Negara Khilafah sejak pertama kali berdiri segera melakukan pengembangan in-frastruktur energi yang diperlu-kan untuk menjamin kebutuhan-nya dan memastikan agar energi tersebut tidak keluar dari negara dan jatuh ke tangan negara-negara penjajah. Selain itu, pengembangan infrastruktur ini kenyataannya akan menciptakan berjuta-juta lapangan pekerjaan yang akan mengangkat berjuta-juta orang keluar dari kemiskinan di dunia Muslim. Pada gilirannya pe-ngembangan energi akan mem-berikan efek luar biasa dengan merangsang ekonomi yang lebih luas melalui pengembangan industri berat, kompleks-kom-pleks manufaktur, industri-indus-tri militer, industri-industri pe-nyulingan dan pabrik-pabrik. Dan bagi pengembangan listrik, tentu hal tersebut merupakan hal yang tidak sulit bagi khilafah. Karena semua sumber daya energi yang dibutuhkan dalam pembuatan listrik akan dikelola oleh daulah.
Dengan menerapkan konsep Islam sebenarnya harga listrik di Indonesia tidak perlu dinaikkan bahwa sangat mungkin untuk digratiskan secara proporsional kepada seluruh rakyat. Meski demikian hal tersebut tidak mungkin terlaksana selama sistem ekonomi negara ini menganut sistem ekonomi kapitalisme. Oleh karena itu penerapan syariah Islam secara menyeluruh melalui penegakan sistem Khilafah menjadi sebuah keharusan sehingga sistem Islam dapat ditegakkan secara menyeluruh termasuk dalam pengelolaan listrik. Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh : Ayu Maylani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar